Kamis, November 17, 2011

Teori Siklus

ABDURRAHMAN IBNU KHALDUN
Abdurrahman Ibnu Khaldun (732 H – 808H) atau (1332 M – 1406 M), lahir di Tunisia. Ia mencapai usia 76 tahun menurut kalender Hijriyah, atau 74 tahun menurut kalender Miladiyah. Perbedaan dua tahun itu disebabkan oleh perbedaan penanggalan sistem qamariyah (peredaran bulan mengelilingi bumi) dengan sistem syamsiyah (peredaran bumi mengelilingi matahari). Dalam satu tahun syamsiyah terdapat perbedaan 10 atau 11 hari, sehingga dalam sekitar 33 tahun syamsiyah terjadi perbedaan satu tahun.
Ibnu Khaldun terjun dalam gelanggang politik, menulis sejarah dan menyumbangkan pemikiran orisinel tentang filsafat sejarah, bahkan ia terkenal pula sebagai sesepuh peletak dasar ilmu pengetahuan modern dalam bidang sosiologi. Ia dilahirkan di Tunisia dari keluarga yang berasal dari Andalusia yang berpindah dari Sevilla ke Tunisia dalam pertengahan abad ketujuh Hijriyah. Jika asal-usulnya ditelusuri terus ke belakang, maka ia berasal dari Yaman, keturunan Ibnu Hajar.
Ibnu Khaldun membuat karya tentang pola sejarah dalam bukunya yang terkenal Muqaddimah, yang dilengkapi dengan kitab Al I’bar yang berisi hasil penelitian mengenai sejarah bangsa Berber di Afrika Utara. Dalam Muqaddimah itulah Ibnu Khaldun membahas tentang filsafat sejarah dan soal-soal prinsip mengenai timbul dan runtuhnya negara dan bangsa-bangsa.

TEORI SIKLUS
Asal Mula Negara (Daulah)
Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury) (Muqaddimah: 41).
Lebih lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain. (Muqaddimah: 42).
Untuk mempertahankan hidup tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi kemasyarakatn merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi tersebut eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah tidak akan terlaksana (Muqaddimah: 43).
Karena manusia memiliki watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi’ (الوازع). Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk). (Muqaddimah: 139).

Sosiologi Masyarakat: Peradaban Badui, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial
Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara (daulah), yaitu ‘ashabiyah (العصبـيّة). ‘Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. Ibn Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu Badawah (بداوة) (komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah (حضارة) (kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury) (Muqaddimah: 120).
Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan lain (Muqaddimah: 138).
Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. (Muqaddimah: 139-140).
Akan tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan digantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas sosial (Muqaddimah: 140).
Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar (Muqaddimah: 163).
Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang dominan.

Khilafah, Imamah, Sulthanah
Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat bagi khalifah, Imam, ataupun Sulthan, yaitu:
1. Memiliki pengetahuan.
2. Memiliki sifat ‘adil.
3. Mempunyai kemampuan.
4. Sehat Panca indera dan badannya.
5. Keturunan Quraisy. (Muqaddimah: 194).

Tetapi menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada kemampuan. Ini hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak dapat lagi diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih. Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan diatas.

Bentuk-Bentuk Pemerintahan
Ibn Khaldun berpendapat bentuk pemerintahan ada 3 . (Muqaddimah: 191).:
1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya rakyat sukar mentaati akibat timbulnya terror, penindasan, dan anarki. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional.
2. Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu.
3. Pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat.

Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu: (Muqaddimah: 175).
1. Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2. Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut dan segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
3. Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
4. Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
5. Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan.

Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu:
1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.
2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara.

Selasa, November 08, 2011

FAKTOR KETIDAK PUASAN DAN FAKTOR MOTIVASI DALAM PENINGKATAN KINERJA KARYAWAN

Teori Dua Faktor Frederick Herzberg
Frederick Herzberg (1923-2000), adalah seorang ahli psikolog klinis dan dianggap sebagai salah satu pemikir besar dalam bidang manajemen dan teori motivasi. Frederick I Herzberg dilahirkan di Massachusetts pada 18 April 1923. Sejak sarjana telah bekerja di City College of New York. Lalu tahun 1972, menjadi Profesor Manajemen di Universitas Utah College of Business. Hezberg meninggal di Salt Lake City, 18 Januari 2000.
Teori Herzberg merupakan bagian dari Teori Motivasi yang memiliki pandangan teori kepuasan kerja karyawan. Pemilihan ini disebabkan karena teori Herzberg diturunkan atas pembagian hierarki kebutuhan Maslow menjadi kebutuhan atas dan bawah. Pembagian dua buah atas dan bawah itu membuat teori Herzberg dikenal orang sebagai two factor theory atau motivator hygiene theory. Kebutuhan tingkat atas pada teori Herzberg yang diturunkan dari maslow adalah penghargaan dan aktualisasi diri yang disebut sebagai motivator, sedangkan kebutuhan yang lain digolongkan menjadi kebutuhan bawah yang disebut sebagai hygiene factor.
Sedangkan faktor motivator adalah faktor-faktor yang terutama berhubungan langsung dengan isi pekerjaan (job content) atau faktor-faktor intrinsik. Motivator akan mendorong terciptanya kepuasan kerja, tetapi tidak terkait langsung dengan ketidakpuasan. Sedangkan faktor hygiene adalah rangkaian kondisi yang berhubungan dengan lingkungan tempat pegawai yang bersangkutan melaksanakan pekerjaannya (job context) atau faktor-faktor ekstrinsik. Berikut dapat dilihat diagram teori dua faktor yang dikemukakan Herzberg.


Dalam hal ini, Herzberg menggunakan wawancara yang menjawab pertanyaan seperti, “dapat kah anda menguraikan secara terperinci, apabila anda merasa sangat baik dalam melakukan pekerjaan anda?” dan “dapat kah anda menguraikan secara terperinci, apabila anda merasa sangat jelek dalam melakukan pekerjaan anda?”. Dalam prosedur sistematis seperti ini menghasilkan pengembangan dua macam pengalaman berbeda-beda yakni kepuasan dan ketidakpuasan1.
Dalam sisi ketidakkepuasan memiliki beberapa faktor penyebab rasa ketidakkepuasan karyawan yakni:

1. Upah.
2. Keamanan kerja;
3. Kondisi kerja;
4. Status;
5. Prosedur perusahaan;
6. Mutu dan supervisi teknis;
7. Mutu dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan.

Dalam sisi kepuasan yang disebut sebagai faktor satisfiers atau motivators yang meliputi:

1. Prestasi (achievement)
2. Pengakuan (Recognition)
3. Tanggung Jawab (Responsibility)
4. Kemajuan (Advancement)
5. Pekerjaan itu sendiri (the Work itself)
6. Kemungkinan berkembang (the Posibility of growth)

Penerapan Teori Dua Faktor Herzberg Dalam Organisasi
Dalam kehidupan organisasi, pemahaman terhadap motivasi bagi setiap pemimpin sangat penting artinya, namun motivasi juga dirasakan sebagai sesuatu yang sulit. Hal ini dikemukakan oleh Wahjosumidjo (1994 : 173) sebagai berikut :
a. Motivasi sebagai suatu yang penting (important subject) karena peran pemimpin itu sendiri kaitannya dengan bawahan. Setiap pemimpin tidak boleh tidak harus bekerja bersama-sama dan melalui orang lain atau bawahan, untuk itu diperlukan kemampuan memberikan motivasi kepada bawahan.
b. Motivasi sebagai suatu yang sulit (puzzling subject), karena motivasi sendiri tidak bisa diamati dan diukur secara pasti. Dan untuk mengamati dan mengukur motivasi berarti harus mengkaji lebih jauh perilaku bawahan. Disamping itu juga disebabkan adanya teori motivasi yang berbeda satu sama lain.

Untuk memahami motivasi karyawan digunakan teori motivasi dua arah yang dikemukakan oleh Herzberg:
• Pertama, teori yang dikembangkan oleh Herzberg berlaku mikro yaitu untuk karyawan atau pegawai pemerintahan di tempat ia bekerja saja. Sementara teori motivasi Maslow misalnya berlaku makro yaitu untuk manusia pada umumnya.
• Kedua, teori Herzberg lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dengan performa pekerjaan. Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg tahun 1966 yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow.

Teori Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker and Hall dalam Timpe, 1999 : 13).
Pada studi saya, yang melibatkan teman-teman pascasarjana alur Manajemen Pembangunan Kota dimana diambil 11 orang sebagai sampel untuk mengetahui faktor penyebab ketidakpuasan karyawan terhadap perusahaannya.
Dari hasil wawancara, didapatkan beberapa faktor ketidakpuasan karyawan terhadap perusahaannya. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Keamanan kerja;
2. Kondisi kerja;
3. Status;
4. Prosedur perusahaan;
5. Mutu dan supervisi teknis;
6. Mutu dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan.
7. Prestasi (achievement)
8. Pengakuan (Recognition)
9. Pekerjaan itu sendiri (the Work itself)
10. Kemungkinan berkembang (the Posibility of growth).

Adapun untuk memotivasi kinerja karyawan, yang harrus dilakukan pertamakali adalah menyingkirkan faktor-faktor ketidakpuasan seperti Keamanan kerja; Kondisi kerja; Status; Prosedur perusahaan; Mutu dan supervisi teknis; Mutu dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan.
Setalah faktor-faktor ketidakpuasan tadi dapat diselesaikan maka perlu adanya motivasi dengan cara pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah (hygienis), pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih (achievement), dan pengakuan orang lain (ricognition).


Lesson Learned
Sebagaimana teori motivasi yang lain, motivasi dua faktor Herzberg ini juga bukan tanpa kritikan .Kritik terhadap teori ini antara lain:
1. Sebenarnya apabila kita kaji lebih dalam, teori ini memberikan suatu penjelasan kepuasan kerja dan bukan membahas motivasi secara dominan. Teori ini merupakan gambaran kasar yang terlalu disederhanakan tentang mekanisme yang menimbulkan kepuasan dan ketidakpuasan.
2. Tidak digunakan ukuran keseluruhan kepuasan, karena walaupun seseorang dapat tidak menyukai suatu bagian dari pekerjaanya tetapi masih menerimanya dengan baik sehingga tidak dapat dinilai tidak puas.

Referensi
James L. Gibson, John M. Ivanevich, and James H. Donnely, Jr. “Organisasi dan Manajemen (Perilaku, Struktur, dan Proses), Cetakan Keempat, Penerbit Erlangga. Jakarta, 1989.