Senin, Maret 12, 2012

DASAR-DASAR PERENCANAAN (TEOTI DASAR PADA PERENCANAAN)

PENTINGNYA TEORI PERENCANAAN
Teori perencanaan membahas tentang definisi, pemahaman konteks, praktek-praktek, dan proses dalam perencanaan, dan bagaimana pertumbuhannya dari asal-usul sejarah dan kebudayaan masing-masing.
Teori adalah suatu cara untuk memahami dunia ini, suatu kerangka untuk menginterpretasikan fakta-fakta dan pengalaman (Oppenheimer).
“Ilmu pengetahuan dibentuk dari fakta-fakta, seperti halnya sebuah rumah yang terdiri dari batu bata; tetapi suatu akumulasi fakta-fakta saja bukanlah ilmu pengetahuan; seperti setumpukan batu bata saja bukanlah sebuah rumah.”
Dengan demikian maka teori adalah kerangka yang harus dipergunakan sehingga batu bata bisa membentuk suatu struktur yang baik. Karena teori juga dapat menjelaskan fakta-fakta, maka teori harus diterapkan.
Hubungan antara teori dan praktek adalah sangat penting, sebab perencanaan, tidak seperti ilmu murni. Perencanaan pada dasarnya adalah kegiatan preskriptif, bukan deskriptif. Tujuan seorang perencana bukanlah untuk menguraikan apa yang ada di dunia ini, tetapi untuk mengusulkan cara-cara bagaimana keadaan tersebut bisa diubah.
Hasil perencanaan harus dievaluasi dengan menggunakan acuan standar, yaitu teori. Perencanaan itu sendiri memerlukan pengakuan rasional dan sosial. Ia harus dibenarkan sebagai suatu penerapan cara pengambilan keputusan yang rasional pada masalah sosial.
Karena menyangkut aktivitas masyarakat dan nilai manusia, maka teori perencanaan tidak dapat mengabaikan ideologi. “Teori perencanaan haruslah mencakup beberapa teori tentang masyarakat dimana perencanaan itu dilembagakan (Dyckman).”

II.2 LINGKUP TEORI PERENCANAAN
Tidak ada konsensus mengenai definisi dari teori perencanaan. Teori perencanaan dikembangkan dari penggabungan konsep-konsep yang berasal dari bermacam disiplin ilmu.
Perencana-perencana yang pertama kali muncul adalah dari profesi desain, arsitektur, dan sipil. Mereka membawa konsep utopia dan ke-komprehensif-an, untuk membangun suatu lingkungan yang baik.
Ahli ekonomi menyumbangkan pemikiran mengenai persamaan dan kepentingan umum, analisa pengambilan keputusan, dan pemasyarakatan nilai-nilai.
Psikolog, sosiolog, dan ilmu politik telah mempelajari bagaimana keputusan diambil dan dilaksanakan oleh individu, kelompok dan organisasi pemerintah serta seluruh masyarakat.
Dari merekalah teori perencanaan mendapatkan pemikiran mengenai hubungan kelompok-kelompok kecil, desain dan tingkah laku organisasi, birokrasi, kekuatan masyarakat dan pengambilan keputusan, pemerintahan, dan hubungan antar pemerintah.
Dengan latar belakang tersebut teori perencanaan mampu menghadapi segala permasalahan; yang intinya mencakup:
 definisi : apa perencanaan ?
 substansi : apa yang diketahui tentang obyek yang direncanakan
dan untuk siapa direncanakan ?
 normatif : bagaimana merencanakan dan apa alasannya ?

FORMAT PERENCANAAN
Terdapat empat format perencanaan yang menjadi acuan oleh seluruh dunia di dalam merencanakan wilayah setiap negaranya yakni structure planning, strategic planning, comprehensive planning, dan continous planning. Masing-masing jenis perencanaan memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Strategic Planning
Pengetahuan tentang strategi berasal dari kalangan militer, yang kemudian dikembangkan di bidang manajemen perusahaan dalam bentuk manajemen statejik. Dari bentuk ini kemudian berkembang menjadi perencanaan stratejik (strategic planning).
Perencanaan stratejik yang pada mulanya dikembangkan dalam organisasi yang mencari laba, dapat juga diterapkan pada organisasi nirlaba dan pemerintahan.
Menurut Boseman dan Phatak (1989), perencanaan stratejik mencakup tujuh bagian yang saling berkaitan, yaitu:
 Penilaian terhadap organisasi, dalam hal strengths, weakness, opportunities, threats (SWOT).
 Perumusan misi organisasi.
 Perumusan falsafah dan kebijakan organisasi.
 Penetapan sasaran stratejik.
 Penetapan strategi organisasi.
 Implementasi strategi organisasi.
 Pengendalian strategi organisasi.
Karakteristik strategic planing:
 Perencanaan stratejik lebih berorientasi pada tindakan (action).
 Lebih menampung partisipasi masyarakat yang lebih luas.
 Lebih mempertimbangkan kekuatan dan kelamahan serta peluang dan tantangan yang ada.
 Lebih menaruh perhatian pada kompetisi kepentingan yang terjadi dalam masyarakat.



Continous Planning
Konsep dasar continuous planning adalah bagaimana menjabarkan secara gradual grand master plan yang diproyeksikan jauh ke masa depan, ke dalam rencana jangka menengah, jangka pendek, atau di luar itu.
Karakteristik continuous planning:
 Elemen-elemen kota yang diproyeksikan dalam jangka panjang dijabarkan ke dalam rencana jangka menengah dan jangka pendek.
 Ada formulasi rencana dan program spesifik terhadap fungsi, elemen, atau proyek, yang saling berkaitan dan dianalisa berdasarkan kebutuhan dan realitas.
 Continuous plan harus selalu mutakhir sesuai kebutuhan.
 Selalu ada revisi terhadap rencana berkaitan dengan kemajuan teknologi yang sulit diprediksi (misalnya teknologi transportasi, sistem air bersih dan waste water).
 Selalu melakukan analisa mutakhir terhadap kondisi, informasi, dan keputusan yang berkaitan dengan kasus tertentu.
 Merupakan mekanisme sentral untuk mensintesakan operasi, pandangan dan rencana dari setiap bagian pemerintah kota.
 Mencakup spektrum masa lalu, masa kini, untuk menghadapi masa depan.
 Diformulasikan secara dinamis dan fleksibel dibandingkan pernyataan (kaku) dalam master plan.

Structure Planning
Pada tahun 1965 Planning Advisory Group menyatakan bahwa dalam kenyataannya land use plan yang dibuat berdasarkan Town and Country Planning Act 1948, tidak dapat dilaksanakan karena pembuatannya lama dan pada saat selesai sudah tidak sesuai lagi dengan kenyataan yang ada. Karena itu pada tahun 1968 dibuat Town and Country Act yang baru, menggantikan master plan dengan structure plan.

Karakteristik structure plan :
 Berisi kerangka (pokok-pokok) pengarahan rencana (tidak serinci master plan).
 Bagian wilayah yang perlu segera dibenahi, ditetapkan sebagai action area yang ditindaklanjuti dengan pembuatan action plan (lebih lokal). Sedangkan bagian wilayah yang belum mendesak untuk dibenahi tetap dikendalikan dengan structure plan.
 Lebih fleksibel digunakan pada kota atau wilayah yang mengalami perkembangan sangat cepat (antara lain dengan menggunakan floating zoning pada bagian wilayah yang pertumbuhannya lambat atau wilayah belum terbangun).
 Unsur-unsur kota yang sudah memiliki struktur yang mapan, pada umumnya tidak mengalami perubahan (fisik, jaringan transportasi, land use).

Comprehensive Planning
Menurut Sujarto (1985), rencana menyeluruh mempunyai jangkauan jangka panjang antara 20-30 tahun dan mencakup usaha-usaha pengembangan fisik secara menyeluruh.
 Rencana menyeluruh (comprehensive plan) dimaksudkan untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan serta mengarahkan sumber-sumber perkembangan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan fisik suatu kota secara rasional dan produktif.
 Di Indonesia dikenal dengan nama rencana induk, rencana umum, Master Plan.
 Melihat lingkupnya terlihat bahwa jangkauan rencana komprehensif sangat ambisius.
 Pada hakekatnya lebih bersifat sebagai pembentukan kebijakan umum daripada sebagai produk perencanaan fisik yang spesifik.


Karakteristik comprehensive plan (menurut Bryson; 1988) :
Rencana comprehensive selalu perlu mengacu pada format perundang-undangan tata ruang (yang kaku), sedangkan perkembangan kota yang dihadapi ternyata kompleks, dinamis dan sulit diduga, yang menuntut rencana tata ruang yang luwes.
Karakteristik menurut Black (1968) dalam Branch (1975):
 Komprehensif atau menyeluruh; menunjukkan bahwa rencana komprehensif mencakup seluruh bagian geografi dan semua fungsi dari elemen yang menimbulkan perkembangan fisik.
 Umum; mengandung arti bahwa rencana ini merupakan rangkuman kebijakan dan usulan, tidak mengindikasikan lokasi yang spesifik atau peraturan yang lebih rinci.
 Jangka panjang; menunjukkan bahwa rencana ini diarahkan untuk menghadapi kondisi 20-30 tahun ke depan.
 Ada 6 hal yang harus dipenuhi dokumen rencana komprehensif yaitu : bersifat komprehensif, jangka panjang, bersifat umum, fokus pada pembangunan fisik, rencana yang diusulkan harus berkaitan dengan tujuan komunitas, kebijakan sosial dan ekonomi, yang utama harus berupa instrumen kebijakan dan kedua instrumen teknis.

Jumat, Januari 06, 2012

Alternatif Sumber Pembiayaan Pembangunan
Studi Kasus Taman Hutan Raya R.Soeryo
Nama : Mahmud Rizal Irawan



Latar Belakang
Secara umum di Indonesia, jenis kawasan berdasarkan ada atau tidaknya pemanfaatan terhadap kawasan bersangkutan dibagi menjadi dua, kawasan budi daya dan kawasan lindung. Kawasan budi daya adalah kawasan yang dimanfaatkan untuk suatu penggunaan baik intensif maupun tidak. Kawasan budi daya penggunaan untuk macam-macam penggunaan; pertanian, perkebunan, peternakan, ruang terbuka dan penggunaan untuk bangunan (permukiman, niaga, jasa, pergudangan, industri, fasilitas umum). Sementara kawasan lindung merupakan kawasan yang diperuntukkan sebagai penyeimbang kegiatan yang dilakukan pada kawasan budi daya. Kawasan lindung merupakan kawasan yang dibiarkan lestari bahkan dijaga kelestariannya dengan campur tangan manusia sebagai pengelola yang diusahakan seminimal mungkin.
Sejauh ini, paradigma perencanaan di Indonesia lebih dititik beratkan pada pembangunan. Dalam konteks yang sempit, pembangunan diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya untuk menghasilkan suatu nilai tambah atas sumber daya yang terpakai, atau menyediakan pelayanan bagi usaha pemanfaatan sumber daya. Perencanaan, khususnya perencanaan dengan lingkup wilayah regional kabupaten/kota atau yang lebih kecil jauh lebih mengutamakan rencana kawasan budi daya daripada kawasan lindung. Perencanaan kawasan budi daya, dilakukan melalui segala usaha dan strategi; secara komprehensif, secara sektoral, secara kontinyu dan secara strategis. Di sisi lain, perencanaan kawasan lindung hanya sebatas kebijakan-kebijakan umum pada arahan pengembangan kawasan pada tataran top government.
Pandangan perencanaan ini kemudian berpengaruh pada teknis dan implementasi rencana pada kedua jenis kawasan, dalam kasus ini hanya akan disoroti implementasi rencana salah satu kawasan lindung, yaitu taman hutan raya. Sebagai studi kasus akan diangkat kawasan Taman Hutan Raya R. Soerjo yang ada di Jawa Timur. Tahura R. Soerjo ini terdapat pada beberapa wilayah kabupaten/kota, sehingga diperukan koordinasi yang baik antar wilayah dalam pengelolaan maupun pembiayaannya. Tahura R. Soerjo ini juga memiliki masalah, dimana sebagian besar lahannya merupakan lahan kritis. Oleh karena itu juga perlu diperhatikan mengenai biaya rehabilitasi yang diperlukan. Mengingat Tahura merupakan bagian dari kawasan konservasi yang memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan.

Rumusan Masalah
Permasalahan utama pembiayaan pembangunan kawasan Tahura adalah masih terbatasnya sumber pembiayaan yang menjadi pemasukan untuk pengelolaan kawasan ini. Sumber pembiayaan Tahura ini sebagian besar berasal dari pemerintah (APBD), yang notabene masih belum dapat memenuhi kebutuhan pengelolaan Tahura. Sehingga diperlukan beberapa alternatif pembiayaan baru bagi kawasan ini.

Pembahasan
Gambaran Umum Tahura R. Soerjo
Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo ditunjuk dengan Keppres RI No. 29 Tahun 1992 tanggal 20 Juni 1992. Pembentukan Tahura R. Soerjo merupakan pengembangan dalam membangun hutan Arjuno Lalijiwo, dengan luas 27.863,3 Ha. Tahura ini terletak di empat wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang dan Kota Batu serta Kabupaten Jombang Propinsi Jawa Timur.
Dalam kawasan Tahura R. Soerjo terdapat blok-blok pengembangan yang didasarkan pada pertimbangan topografi (kelerengan/kemiringan lahan), ketinggian di atas permukaan air laut, pertimbangan ekologis (intensitas curah hujan dan kepekaan jenis tanah terhadap erosi). Blok-blok tersebut antara lain :
▪ Blok perlindungan
▪ Blok koleksi tanaman
▪ Blok pemanfaatan intensif
▪ Blok pemanfaatan tradisional

Blok perlindungan merupakan kawasan yang fungsinya untuk melindungi sumberdaya alam (flora, fauna maupun sumber-sumber air). Kegiatan yang dapat dilakukan adalah kegiatan monitoring terhadap sumber daya alam hayati, ekosistemnya dan wisata terbatas. Blok ini tertutup bagi para pengunjung, hanya dapat dimasuki melalui perijinan khusus bagi kepentingan ilmiah dan terbatas bagi bangunan, kecuali untuk beberapa fasilitas pengamanan dan perlindungan.
Blok koleksi tanaman merupakan daerah hayati, tempat tinggal, kawasan jelajah, tempat mencari makan, tempat berlindung, tempat berkembang biak berbagai satwa liar dan tempat penangkaran satwa serta pembibitan flora atau jenis tanaman asli dan bukan asli sebagai upaya pelestarian plasma nutfah hutan Indonesia.
Blok pemanfaatan intensif dan blok pemanfaatan tradisional dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan kawasan dan potensinya dalam bentuk pengembangan kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata alam, agroforestry, wanafarma, dan pemanfaatan lahan di bawah tegakan. Secara tidak langsung dapat memerankan fungsi penyangga (penyangga fisik, penyangga sosial ekonoi, maupu penyangga sumber daya alternatif) terhadap kelestarian blok perlindungan.

Potensi dan Permasalahan Tahura R. Soerjo
Potensi
Tahura R. Soerjo mempunyai beberapa potensi wisata dimana dengan pengelolaan yang lebih baik dapat menjadi sarana yang cukup potensial dalam rangka mendukung tercapainya tujuan pengelolaan Tahura. Potensi-potensi wisata tersebut dikelompokkan sebagai berikut :
1. Obyek Wisata Alam
▪ Fenomena Alam Gunung Gajah Mungkur
▪ Air terjun Watu Ondo
▪ Sumber Air Panas
▪ Goa-goa Jepang
▪ Air Tejun Tretes
2. Obyek wisata Penunjang
▪ Situs Purbakala Indrokilo dan Petilasan Abiyasa
▪ Savana Lalijiwo
▪ Puncak Welirang

Selain potensi obyek wisata, kawasan ini juga memiliki potensi hidrologi sebagai sumber air bersih. Pada dasarnya keadaan hidrologi kawasan Tahura dipengaruhi oleh keberadaan sumber mata air, daerah tampungan air, pola hijau/vegetasi, curah hujan dan keberadaan daerah air sungai.

Permasalahan
Pada kawasan Tahura R. Soerjo, juga memiliki beberapa permasalahan. Beberapa permasalahan tersebut antara lain:
1. Hampir 50 % dari kawasan ini dalam keadaan gundul dan kritis yang disebabkan oleh adanya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan sangat tinggi.
2. Rasio tenaga kerja dan ketersediaan lapangan kerja yang memadai tidak seimbang.
3. Kebiasaan masyarakat sekitar hutan memanfaatkan sumberdaya hutan masih relatif tidak ramah lingkungan, rentan terhadap provokasi pihak luar untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan.
4. Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sekitar hutan.
5. Minimnya ketertarikan dari para pemegang modal (swasta) untuk melakukan investasi pada kawasan ini.

Pembiayaan Kawasan Tahura R. Soerjo
Pembiayaan kawasan R. Soerjo saat ini didapatkan dari APBD, dengan nilai 4,5 miliar per tahunnya. Selain itu kawasan ini juga mendapatkan pendapatan dari penarikan karcis atau retribusi dari pengunjungnya. Untuk pengunjung wisata nusantara sebesar Rp. 2.500,- per orang dan untuk pengunjung mancanegara sebesar Rp. 20.000,- per orang. Untuk tarif kendaraan roda dua sebesar Rp. 2.500,- dan kendaraan roda empat sebesar Rp. 10.000,-. Sedangkan karcis untuk rombongan sedikitnya 25 orang ditetapkan tarif 50 % dari tarif normal.
Selain dari para pengunjung, pemegang ijin hak pengusahaan pariwisata akan dikenakan retribusi pemanfaatan lahan dalam Tahura sebesar 2 juta per hektar. Besarnya pembagian perimbangan penerimaan pungutan karcis masuk untuk Pemerintah Kebupaten/Kota yang menjadi lokasi Tahura sebesar 30 % berdasarkan asas potensi.
Berikut adalah rincian penerimaan dan perkiraan kebutuhan biaya pengelolaan Tahura R. Soerjo :
1. Penerimaan dari anggaran pemerintah per tahun :
- Rehabilitasi : Rp 1.600.000.000,-
- Pemberdayaan Masyarakat : Rp 800.000.000,-
- Keamanan Hutan : Rp 600.000.000,-
- Perbaikan Bangunan : Rp 500.000.000,-
- Monitoring : Rp 1.000.000,-
Total : Rp 4.500.000.000,-
2. Penerimaan dari retribusi :
Retribusi tahun 2004 : Rp 110.000.000,-
Retribusi tahun 2005 : Rp 120.000.000,-
Retribusi tahun 2006 : Rp 180.000.000,-

Alternatif-Alternatif Sumber Pembiayaan Yang Relevan
Bila melihat pada kondisi pembiayaan dalam pemanfaatan tahura sangat jelas kesemuanya merupakan hasil dari retribusi dan APBD. Namun hal ini sangat terlihat jelas perbandingan antara sumber pembiayaan dari hasil retribusi dengan APBD yang mana anggaran pembiayaan masih tergantung dari APBD. Sehingga dengan adanya ketergantungan terhadap APBD akan ada permasalahan bila sewaktu-waktu dana yang didapatkan macet. Maka untuk itu perlu adanya strategi pembiayaan yang relevan, yang mana alternatif-alternatif sumber pembiayaannya dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Sumber Pembiayaan Konvensional
a. Retribusi: retribusi yang diterapkan berkaitan dengan pemanfaatan tahura untuk kegiatan jasa-jasa tertentu dari pemerintah, jasa-jasa yang dilakukan misalnya jasa pariwisata alam, pariwisata olahraga dan pendidikan, retribusi ditarik dari retribusi parkir, retribusi sarana serta retribusi penyelenggaraan kegiatan yang sesuai dan retribusi perijinan, retribusi dalam kaitannya sebagai timbal balik dari kegiatan jasa-jasa tidak dapat dilakukan secara massif, melainkan dilakukan dengan keseimbangan antara besaran retribusi yang diterapkan dengan standar tingkat pelayanan, dengan alasan ini maka retribusi tidak dapat diandalkan menjadi sumber pembiayaan utama, melainkan komplementer.
b. Transfer: pemerintah daerah akan menerima dana alokasi sebagai sumber pembiayaan akibat diajukannya tahura sebagai bagian utama pengembangan suatu daerah, contoh dana alokasi dapat datang dari DAU, DAK dan lain-lain, dalam pelaksanaannya dana alokasi ini dapat menjadi alternatif sumber pembiayaan tergantung dari political will dari pemerintah daerah terhadap kepentingan pemeliharaan tahura berkaitan dengan tujuan dan arahan perencanaan, terutama berkaitan dengan sector perekonomian.
c. Hutang: hutang diterima dari pemerintah pusat/daerah dg kewajiban mengembalikannya pada jangka waktu tertentu kepada pemberi hutang, hutang yang dapat menjadi alternatif adalah hutang dari daerah lain, hutang luar negeri dapat dilakukan hanya jika terpaksa dalam keadaan darurat untuk penanganan bencana atau keadaan lain.
d. Laba perusahan: laba yang diterima pemerintah pusat/daerah yang berasal dari laba perusahan milik daerah, laba BUMN, BUMD, laba perusahaan khususnya perusahaan yang memanfaatkan keberadaan tahura misalnya perusahaan pengolahan air bersih dan air minum daerah, dapat diikat dengan perjanjian kontrak bagi laba antara perusahaan – pemerintah.

2. Sumber Pembiayaan Inkonvensional
a. Debt financing
• Development exaction: pembangunan prasarana terhadap developer yang ditentukan berdasarkan negosiasi/perjanjian antara developer dengan institusi yang mewakili aktifitas masyarakat, masyarakat dapat ikut berpartisipasi melalui suatu badan independent sebagai pendukung keberadaan tahura, partisipasi dapat dilakukan secara sukarela, sementara peran pemerintah dalam hal ini adalah menjembatani antara organisasi pendukung dengan perusahaan-perusahaan/developer yang mungkin memberikan intensif biaya, karena dalam hal ini pemerintah memliki akses ke developer.
b. Equity financing
• Join ventura: pengelolaan bersama-sama terhadap tahura dengan memadukan keunggulan yang dimiliki oleh swasta dan masyarakat secara seimbang, tahura merupakan ikon dan landmark serta kebutuhan bagi masyarakat, sehingga menjadi potensi masyarakat berupa keinginan untuk mempertahankan keberadaan tahura di wilayah sekitar tempat tinggal masyarakat seperti pada development exaction, sementara pihak swasta mempunyai kelebihan dari sisi biaya, konsep pembiayaannya adalah memberikan kesempatan pada pihak swasta untuk mengambil keuntungan dari tahura berupa promosional, branding dan penerapan Corporate Social Responsibility dengan keterlibatan masyarakat dalam pemeliharaan tahura sebagai penawaran pasar atau potensi sumberdaya sekaligus konsumen produk.

Strategi Implementasi Pembiayaan
Kelestarian fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan dengan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, merupakan strategi awal dalam pembangunan hutan untuk menuju keseimbangan ekosistem.
Pengendalian dan pemanfaatan multi fungsi hutan yang tersisa perlu ditingkatkan sebagai alternatif sumber PAD dan pendapatan masyarakat sekitar hutan melalui kerjasama mitra dalam bentuk BOT, KSO dan akerjasama masyarakat dengan koridor ekologi dan pemanfaatan optimal jasa lingkungan.
Sistem agroforestry yang berbasis tanaman hutan, merupakan salah satu alternatif pengelolaan kawasan hutan yang dapat meningkatkan rasa memiliki bagi masyarakat sekitar hutan sebagai kekutan utama dalam pengamanan hutan.
Pemanfaatan potensi obyek wisata alam melalui kerjasama mitra :
1. Pengelolaan sarana prasarana dan potensi (dengan sistem Build of Transfer/ BOT) dalam jangka waktu 20 tahun.
a. Pemerintah propinsi membangun sarana dan prasarana dengan segala kelengkapannya.
b. Pihak ketiga membangun sarana penunjang obyek wisata alam beserta kelengkapannya.
c. Sistem yang dianut adalah bagi hasil antara Pemprop dengan pihak ketiga sebesar 30 % (pemprop) dan 70 % (pihak ketiga)
2. Pembangunan sarana prasarana dengan pola kerjasama pihak ketiga.
3. Kerjasama mitra dengan masyarkat sekitar Tahura dan pihak ketiga dalam rangka pemanfaatan kawasan pada blok tradisional seluas 200 Ha dalam bentuk agroforestry dengan pola hasil dengan pembagian 50% untuk masyarakat atau pihak ketiga, 50% untuk Pemerintah Propinsi Jawa Timur.
4. Kerjasama operasional dengan pihak swasta dalam membangun bumi perkemahan sebagai asset untuk mendatangkan PAD dengan pola bagi hasil 70% untuk swasta dan 30% untuk Pemerintah Propinsi Jawa Timur.

Jumat, Desember 02, 2011

PENGEMBANGAN POLA DISTRIBUSI KEBUTUHAN AIR BERSIH DESA KATOL BARAT, DESA BANYONING LAOK, DESA BANYONING DAJAH, DESA KLAPAYAN DI KABUPATEN BANGKALAN

RINGKASAN
Dalam pengembangan pola distribusi air bersih pada wilayah penelitian di kabupaten Bangkalan secara garis besar adalah melalui peningkatan partisipasi masyarakat, program bantuan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, pengembangan dan pengelolaan air bersih bagi sumber dan pengembangan manajemen air bersih untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat.
Berdasarkan hasil analisa kebutuhan air bersih, desa Katol Barat pada tahun 2017 membutuhkan kapasitas air bersih sebesar 3,06 l/dtk, desa Banyoning Laok sebesar 5,19 l/dtk, desa Banyoning Dajah sebesar 3,85 l dtk, dan desa Klapayan sebesar 3,20 l, dtk.
Faktor penyebab masalah krisis air bersih di wilayah kantong kekeringan adalah faktor tingkat partisipasi masyarakat, iklim, daerah resapan, kondisi geografis, tingkat pengawasan, kemampuan penduduk, lokasi, hidrologi, dan sumber air.
Sumber yang potensial, dalam penelitian ini ditemukan 4 sumber yakni sumber Kwanyar di desa Kombangan kecamatan Geger, berpotensi dikembangkan bagi desa Katol Barat, sumber Dupok untuk desa Banyoning Laok, sumber Kombangan untuk desa Banyoning Dajah, dan sumber Geger untuk desa Klapayan.
Hal ini berdasarkan debit sumber, jarak sumber ke desa, dan selisih ketinggian sehingga memungkinkan untuk didistribusikan bagi wilayah kantong kekeringan.
Pengembangan pola distribusi diajabarkan dalam beberapa arahan sebagai berikut:


1. Tingkat Partisipasi Masyarakat
Beberapa arahan faktor partisipasi masyarakat adalah sebagai berikut:
- Memberikan pendidikan dan sosialisasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) berkelanjutan bagi masyarakat pedesaan melalui pemberdayaan masyarakat pedesaan.
- Peningkatan peran aktif masyarakat pedesaan dalam penyediaan dan pengelolaan air bersih pedesaan, serta peningkatan rasa memiliki masyarakat pedesaan melalui pendekatan investasi bersama, yakni melalui bantuan dari pemerintah yang nantinya dikelola bersama oleh masyarakat.
- Mengikutsertakan masyarakat dalam pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana air minum.
- Pemberian bantuan teknis dan pelatihan teknis bagi masyarakat pedesaan dalam operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana air minum, serta bantuan teknis dalam pengelolaan air minum.

2. Kemampuan Penduduk
Beberapa arahan faktor kemampuan penduduk adalah sebagai berikut:
- Pengembangan program bantuan MBR bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
- Pemberian sebanyak banyaknya pilihan sistem pembiayaan yang sesuai dengan kemampuan masyarakat.
- Memberikan tarif pemakaian air dan pemasangan sambungan khusus yang murah bagi masyarakat yang belum mendapatkan air bersih dan masyarakat yang termasuk dalam berpendapatan rendah.
- Pemberian subsidi oleh pemerintah terkait dengan besarnya tarif agar masyarakat bisa mendapatkan pelayanan air bersih.

3. Faktor Sumber Air
Beberapa arahan faktor sumber air adalah sebagai berikut:
- Pemanfaatan sumber Kwanyar bagi kebutuhan masyarakat Desa Katol Barat, sumber Kombangan bagi kebutuhan masyarakat Desa Banyoning Dajah, sumber Dupok bagi kebutuhan masyarakat desa Banyoning Laok, dan sumber Geger untuk Desa Klapayan, serta melakukan program konservasi untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas air.
- Pembangunan SPAM pada sumber Kwanyar, dan sumber Dupok, serta pembangunan jaringan perpipaan dari sumber Kwanyar menuju Desa Katol Barat, dan sumber Dupok menuju Desa Banyoning Laok.
- Pengembangan pengelolaan air bersih pada sumber Kombangan dan sumber Geger yang memiliki SPAM disertai pembangunan jaringan perpipaan bagi Desa Banyoning Dajah dan Desa Klapayan.
- Penambahan jaringan perpipaan bagi masyarakat Desa Klapayan untuk meningkatkan kapasitas pelayanan kebutuhan air bersih.
- Pembangunan bak penampung/ penyimpanan air di Desa Katol Barat, Desa Banyoning Dajah, dan Desa Banyoning Laok.
- Adanya interkoneksi jaringan dari Bangkalan untuk peningkatan kapasitas dan kontinuitas pelayanan masyarakat Desa Katol Barat, Desa Banyoning Dajah, dan Desa Banyoning Laok.
- Pembangunan sambungan rumah (sambungan air bersih ke rumah-rumah) yang disalurkan dari bak penampungan.
- Melakukan pengawasan terhadap sumber air baku dan infrastruktur di sumber Kwanyar, sumber Kombangan, sumber Dupok, dan sumber Geger.

4. Tingkat Pengawasan
Beberapa arahan faktor tingkat pengawasan adalah sebagai berikut:
- Kerjasama antara masyarakat dan PDAM dalam pengembangan dan pengelolaan sumber air.
- Perbaikan pemantauan system dan evaluasi melalui pendekatan partisipatif yakni pelatihan bagi masyarakat agar terlibat langsung dalam pengembangan air bersih.
- Peningkatan kemampuan teknis dan pengelolaan PDAM menuju profesionalisme korporasi serta pemisahan secara tegas antara fungsi operator dan regulator dalam pembangunan dan pengelolaan air bersih.
- Melakukan pengawasan terhadap sumber air baku yang ada serta pengawasan terhadap prasarana-sarana, hal ini agar kuantitas sumber air tidak semakin berkurang.
- Pelibatan masyarakat melalui sosialisai, pelatihan, dan jaringan air bersih untuk memudahkan pengembangan sector air bersih.

Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka rekomendasi yang dapat diberikan, antara lain:
1. Adanya kerjasama yang terstruktur antara dinas sosial, PU Cipta Karya, PDAM dan Bappeda dalam mengatasi masalah krisis air bersih baik dari aspek social, lingkungan, dan manajemennya.
2. Perlunya pengecekkan dan pengembangan sumber air bersih permukaan dan dalam tanah lebih lanjut guna mendapatkan potensi-potensi pengembangan air bersih kedepannya.
3. Studi lanjutan mengenai potensi dan permasalahan infrastruktur wilayah kantong kekeringan agar bisa dilakukan penanganan dan pengembangan lebih lanjut.

Kamis, November 17, 2011

Teori Siklus

ABDURRAHMAN IBNU KHALDUN
Abdurrahman Ibnu Khaldun (732 H – 808H) atau (1332 M – 1406 M), lahir di Tunisia. Ia mencapai usia 76 tahun menurut kalender Hijriyah, atau 74 tahun menurut kalender Miladiyah. Perbedaan dua tahun itu disebabkan oleh perbedaan penanggalan sistem qamariyah (peredaran bulan mengelilingi bumi) dengan sistem syamsiyah (peredaran bumi mengelilingi matahari). Dalam satu tahun syamsiyah terdapat perbedaan 10 atau 11 hari, sehingga dalam sekitar 33 tahun syamsiyah terjadi perbedaan satu tahun.
Ibnu Khaldun terjun dalam gelanggang politik, menulis sejarah dan menyumbangkan pemikiran orisinel tentang filsafat sejarah, bahkan ia terkenal pula sebagai sesepuh peletak dasar ilmu pengetahuan modern dalam bidang sosiologi. Ia dilahirkan di Tunisia dari keluarga yang berasal dari Andalusia yang berpindah dari Sevilla ke Tunisia dalam pertengahan abad ketujuh Hijriyah. Jika asal-usulnya ditelusuri terus ke belakang, maka ia berasal dari Yaman, keturunan Ibnu Hajar.
Ibnu Khaldun membuat karya tentang pola sejarah dalam bukunya yang terkenal Muqaddimah, yang dilengkapi dengan kitab Al I’bar yang berisi hasil penelitian mengenai sejarah bangsa Berber di Afrika Utara. Dalam Muqaddimah itulah Ibnu Khaldun membahas tentang filsafat sejarah dan soal-soal prinsip mengenai timbul dan runtuhnya negara dan bangsa-bangsa.

TEORI SIKLUS
Asal Mula Negara (Daulah)
Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury) (Muqaddimah: 41).
Lebih lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain. (Muqaddimah: 42).
Untuk mempertahankan hidup tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi kemasyarakatn merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi tersebut eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah tidak akan terlaksana (Muqaddimah: 43).
Karena manusia memiliki watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi’ (الوازع). Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk). (Muqaddimah: 139).

Sosiologi Masyarakat: Peradaban Badui, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial
Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara (daulah), yaitu ‘ashabiyah (العصبـيّة). ‘Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. Ibn Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu Badawah (بداوة) (komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah (حضارة) (kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury) (Muqaddimah: 120).
Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan lain (Muqaddimah: 138).
Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. (Muqaddimah: 139-140).
Akan tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan digantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas sosial (Muqaddimah: 140).
Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar (Muqaddimah: 163).
Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang dominan.

Khilafah, Imamah, Sulthanah
Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat bagi khalifah, Imam, ataupun Sulthan, yaitu:
1. Memiliki pengetahuan.
2. Memiliki sifat ‘adil.
3. Mempunyai kemampuan.
4. Sehat Panca indera dan badannya.
5. Keturunan Quraisy. (Muqaddimah: 194).

Tetapi menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada kemampuan. Ini hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak dapat lagi diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih. Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan diatas.

Bentuk-Bentuk Pemerintahan
Ibn Khaldun berpendapat bentuk pemerintahan ada 3 . (Muqaddimah: 191).:
1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya rakyat sukar mentaati akibat timbulnya terror, penindasan, dan anarki. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional.
2. Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu.
3. Pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat.

Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu: (Muqaddimah: 175).
1. Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2. Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut dan segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
3. Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
4. Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
5. Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan.

Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu:
1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.
2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara.

Selasa, November 08, 2011

FAKTOR KETIDAK PUASAN DAN FAKTOR MOTIVASI DALAM PENINGKATAN KINERJA KARYAWAN

Teori Dua Faktor Frederick Herzberg
Frederick Herzberg (1923-2000), adalah seorang ahli psikolog klinis dan dianggap sebagai salah satu pemikir besar dalam bidang manajemen dan teori motivasi. Frederick I Herzberg dilahirkan di Massachusetts pada 18 April 1923. Sejak sarjana telah bekerja di City College of New York. Lalu tahun 1972, menjadi Profesor Manajemen di Universitas Utah College of Business. Hezberg meninggal di Salt Lake City, 18 Januari 2000.
Teori Herzberg merupakan bagian dari Teori Motivasi yang memiliki pandangan teori kepuasan kerja karyawan. Pemilihan ini disebabkan karena teori Herzberg diturunkan atas pembagian hierarki kebutuhan Maslow menjadi kebutuhan atas dan bawah. Pembagian dua buah atas dan bawah itu membuat teori Herzberg dikenal orang sebagai two factor theory atau motivator hygiene theory. Kebutuhan tingkat atas pada teori Herzberg yang diturunkan dari maslow adalah penghargaan dan aktualisasi diri yang disebut sebagai motivator, sedangkan kebutuhan yang lain digolongkan menjadi kebutuhan bawah yang disebut sebagai hygiene factor.
Sedangkan faktor motivator adalah faktor-faktor yang terutama berhubungan langsung dengan isi pekerjaan (job content) atau faktor-faktor intrinsik. Motivator akan mendorong terciptanya kepuasan kerja, tetapi tidak terkait langsung dengan ketidakpuasan. Sedangkan faktor hygiene adalah rangkaian kondisi yang berhubungan dengan lingkungan tempat pegawai yang bersangkutan melaksanakan pekerjaannya (job context) atau faktor-faktor ekstrinsik. Berikut dapat dilihat diagram teori dua faktor yang dikemukakan Herzberg.


Dalam hal ini, Herzberg menggunakan wawancara yang menjawab pertanyaan seperti, “dapat kah anda menguraikan secara terperinci, apabila anda merasa sangat baik dalam melakukan pekerjaan anda?” dan “dapat kah anda menguraikan secara terperinci, apabila anda merasa sangat jelek dalam melakukan pekerjaan anda?”. Dalam prosedur sistematis seperti ini menghasilkan pengembangan dua macam pengalaman berbeda-beda yakni kepuasan dan ketidakpuasan1.
Dalam sisi ketidakkepuasan memiliki beberapa faktor penyebab rasa ketidakkepuasan karyawan yakni:

1. Upah.
2. Keamanan kerja;
3. Kondisi kerja;
4. Status;
5. Prosedur perusahaan;
6. Mutu dan supervisi teknis;
7. Mutu dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan.

Dalam sisi kepuasan yang disebut sebagai faktor satisfiers atau motivators yang meliputi:

1. Prestasi (achievement)
2. Pengakuan (Recognition)
3. Tanggung Jawab (Responsibility)
4. Kemajuan (Advancement)
5. Pekerjaan itu sendiri (the Work itself)
6. Kemungkinan berkembang (the Posibility of growth)

Penerapan Teori Dua Faktor Herzberg Dalam Organisasi
Dalam kehidupan organisasi, pemahaman terhadap motivasi bagi setiap pemimpin sangat penting artinya, namun motivasi juga dirasakan sebagai sesuatu yang sulit. Hal ini dikemukakan oleh Wahjosumidjo (1994 : 173) sebagai berikut :
a. Motivasi sebagai suatu yang penting (important subject) karena peran pemimpin itu sendiri kaitannya dengan bawahan. Setiap pemimpin tidak boleh tidak harus bekerja bersama-sama dan melalui orang lain atau bawahan, untuk itu diperlukan kemampuan memberikan motivasi kepada bawahan.
b. Motivasi sebagai suatu yang sulit (puzzling subject), karena motivasi sendiri tidak bisa diamati dan diukur secara pasti. Dan untuk mengamati dan mengukur motivasi berarti harus mengkaji lebih jauh perilaku bawahan. Disamping itu juga disebabkan adanya teori motivasi yang berbeda satu sama lain.

Untuk memahami motivasi karyawan digunakan teori motivasi dua arah yang dikemukakan oleh Herzberg:
• Pertama, teori yang dikembangkan oleh Herzberg berlaku mikro yaitu untuk karyawan atau pegawai pemerintahan di tempat ia bekerja saja. Sementara teori motivasi Maslow misalnya berlaku makro yaitu untuk manusia pada umumnya.
• Kedua, teori Herzberg lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dengan performa pekerjaan. Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg tahun 1966 yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow.

Teori Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker and Hall dalam Timpe, 1999 : 13).
Pada studi saya, yang melibatkan teman-teman pascasarjana alur Manajemen Pembangunan Kota dimana diambil 11 orang sebagai sampel untuk mengetahui faktor penyebab ketidakpuasan karyawan terhadap perusahaannya.
Dari hasil wawancara, didapatkan beberapa faktor ketidakpuasan karyawan terhadap perusahaannya. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Keamanan kerja;
2. Kondisi kerja;
3. Status;
4. Prosedur perusahaan;
5. Mutu dan supervisi teknis;
6. Mutu dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan.
7. Prestasi (achievement)
8. Pengakuan (Recognition)
9. Pekerjaan itu sendiri (the Work itself)
10. Kemungkinan berkembang (the Posibility of growth).

Adapun untuk memotivasi kinerja karyawan, yang harrus dilakukan pertamakali adalah menyingkirkan faktor-faktor ketidakpuasan seperti Keamanan kerja; Kondisi kerja; Status; Prosedur perusahaan; Mutu dan supervisi teknis; Mutu dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan.
Setalah faktor-faktor ketidakpuasan tadi dapat diselesaikan maka perlu adanya motivasi dengan cara pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah (hygienis), pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih (achievement), dan pengakuan orang lain (ricognition).


Lesson Learned
Sebagaimana teori motivasi yang lain, motivasi dua faktor Herzberg ini juga bukan tanpa kritikan .Kritik terhadap teori ini antara lain:
1. Sebenarnya apabila kita kaji lebih dalam, teori ini memberikan suatu penjelasan kepuasan kerja dan bukan membahas motivasi secara dominan. Teori ini merupakan gambaran kasar yang terlalu disederhanakan tentang mekanisme yang menimbulkan kepuasan dan ketidakpuasan.
2. Tidak digunakan ukuran keseluruhan kepuasan, karena walaupun seseorang dapat tidak menyukai suatu bagian dari pekerjaanya tetapi masih menerimanya dengan baik sehingga tidak dapat dinilai tidak puas.

Referensi
James L. Gibson, John M. Ivanevich, and James H. Donnely, Jr. “Organisasi dan Manajemen (Perilaku, Struktur, dan Proses), Cetakan Keempat, Penerbit Erlangga. Jakarta, 1989.

Kamis, Desember 16, 2010

Jalan-jalan ke sambikerep - pakal

KISAH SURVEY DI KAWASAN PERBATASAN SURABAYA-GRESIK DI KECAMATAN SAMBIKEREP DAN KECAMATAN PAKAL (KOTA SURABAYA)




Kondisi faktual kegiatan masyarakat di sebuah taman kanak-kanak di Kecamatan Pakal Surabaya



Saya Berpose di Stasiun Kecil Benowo



Panorama Rel Kereta Api di Dekat Stasiun Benowo



Pedagang Jajanan Keliling dan Saya Selaku Pembeli+Penulis




Awal kisah pada 6 juni 2009, di Pagi buta, jam 4:30 bangun, hwaaaah... ayo mandi mandi mandi, sholat, dan jangan lupa update status faceboooooooooooooooooooooook... hwaahahahaha... wah, keakeyan cotot...

Mau ke sambikerep lewat banyu urip. Banyu urip selama proses pembangunan "box culvert" (kayaknya sih tuh artinya menumpuk saluran banyu urip dengan beton untuk dijadikan jalur jalan, sebagai alternative pencegah macret cret cret), huak cyuuuh. Pagi2 gerombolan truk-truk pengangkut beton, untung aja pagi2 masih belum ada penumpukan kendaraan, tapi... air saluran yang beraroma "terapi" yang di bendung dan penuh mengakibatkan genangan di jalan... hwaaaaah, pagi-pagi udah bau selokan, huak cyuhhhh...

jauh banget sih sambikerep ya... padahal itu masuk kota Surabaya, tapi aroma gresikannya terasa seperti warung tempat aku start untuk sarapan. mantaaaaap... warungnya mantap, murah meriah muntah-muntah... Makan bareng kuli-kuli, tukang becak emang maknyooos... seneng rasanya mendengarkan perbincangan bapak2 tersebut,,,, lucu banget, ada-ada aja, bikin gemes deh... hwa'a'a'a'a'a...

yang paling aku senengi dari survey lapangan itu, yaitu seneng melihat aktivitas masyarakat, mulai dari pergi ke pasar, ada yang berangkat ke sekolah (anak-anak kecil emang selalu bikin aku tersenyum, konyol), ada yang narik becak, ada yang salip-salipan di jalan, ada yang nyapu lantai rumah, ada yang mandi di selokan (orang gila maksudnya), ada yang pergi mancing, ada yang bercanda ria dengan tetangga sekitar (hanya sering terlihat di kampung tradisional, jangan berharap di kampung elit)... lucu-lucu lho masyarakat itu pola perilakunya, unik banget... itu masih waktu pagi... belum kalo siang... sepiiiiiiii... panas sih... hwahahahaha...

capek emang muter-muter, pantat panas, maknyuussss... udah tua, kangen ama makanan anak-anak, jadinya ada lek-lek jualan "cilok" (pentol dari kanji), eh ternyata kentakot (terbuat dari tepung singkong dicampur dengan kanji) yang dijualnya. ehhhh, ternyata yang dagang tuh umur 13 tahun, masih kecil sih, mukanya aja imut tak berdosa. dia asli brebes, dia ikut kakanya tinggal di benowo sebagai penjual "kentakot". namanya kangen ama makanan masa kecil, jadinya hajar aja deh... enak sih, jangan lupa rokok sebagai hidangan penutupnya... maknyooossss...

baru pertama kali aku maen ke "jurang kuping". Jurang kuping itu kayaknya sebagai penampungan air untuk PDAM. masuk sebenarnya Rp1000 untuk mobil dan Rp500 untuk sepeda motor, tapi beruntung yang jaga g ada, jadi langsung hajar blehhh... Pengen tau sih, eh ternyata di situ banyak tempat warung remang2 berada. Wanita-wanitanya rambut panjang dan lurus, bedak tebal 5 cm, gincu merah norak, dan bodinya itu lho... suit suit... ginuk-ginuk bok... lebih pantes ikut gabung KBRI (Kuli Bangunan Republik Indonesia)... hwahahahaha... just killing...

di jurang kuping vegetasi dominannya sih pohon2an perdu, tapi ada sejumlah pepohonan siwalan (yang dibuat legen itu kan??? kalo di fermentasi bisai jadi arak, mantaaaap, bikin pucing)... disitu memang cocok untuk tempat pacaran, sepi, banyak semak-semaknya, rimbun, kacau.... ada yang suami-istri, ada yang muda-mudi, ada yang sesama laki-laki (huaaak cyuuuh, padahal wedok'an sik akeh)... udah ah, tempat apaan ini, pergi aja dah...

Akhirnya pergi menjauh dari tempat itu, dan tiba di pasar tradisional Pakal. emang seneng banget jalan ke pasar, soalnya tingkah laku (budaya) yang Indonesia banget hanya ada disni niy... tapi semoga pasar tradisional gak punah gara-gara pembangunan super duper fucking market alias "mall" meraja lela ibarat jamur "di musim penghujan" (kata-kata kuno ya... hahahaha). Makan sayur bening lauk telur dengan sambal terasi di siang hari memang maknyus, apalagi ada alunan musik khas rakyat yaitu "dangdut campursari", mantap coy, serasa di Indonesia, never ending Indonesia. Panas memang di sambikerep, bau kecut badanku emang maknyos, kangen udah g membaui keringatku yang maknyos kayak gini... mantap... bikin pusing 7 keliling bukan kepayang... tarik mang... dangdutan di warung.
Es Kencur yang dihidangkan oleh bibi jualan, membuat suasana siang yang kering-bendering menjadi terang benderang, es kencurnya segar bosssss...

Hiyaaaaaaaaahhhh.!!!
Ternyata waktu menunjukkan pukul 15.45 WIB,, saatnya saya pulang kembali ke KOS SWEET KOS di daerah KAMPUS ITS SUKOLILO TERCINTA. Ya udah ya,, istirahat dulu,, good bye baby, cheerio, it is our last Farewell...

Minggu, April 18, 2010

PROSES PERKEMBANGAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI KOTA SURABAYA

PROSES PERKEMBANGAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
DI KOTA SURABAYA
Oleh :
Mahmud Rizal Irawan

Latar Belakang
Surabaya merupakan kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Salah satu indikasinya adalah adanya perkembangan pemukiman. Perkembangan permukiman Kota Surabaya mengalami perubahan yang sangat signifikan. Tujuan pembahasan kali ini adalah untuk mengetahui perkembangan pemukiman di Surabaya pada setiap periode beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya yang dibagi menjadi delapan periode yang secara berturut-turut dimulai sejak jaman pra kolonial, periode 1275-1625, periode 1626-1743, periode 1743-1808, periode 1808-1870, periode 1870-1940, periode penjajahan Jepang, dan periode pasca kemerdekaan – sekarang.
Pemukiman di Surabaya ini mengalami pergeseran persebaran, dimana pada awalnya pemukiman di Surabaya ini tersebar di daerah utara Surabaya hingga pada perkembangannya pemukiman terus berkembang ke arah selatan, barat, dan timur Surabaya. Hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan akan pertahanan, adanya kegiatan perekonomian seperti perdagangan dan politik, terbukanya serta pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya membutuhkan ruang sebagai tempat tinggal.
Untuk itu dalam makalah ini akan membahas perkembangan permukiman di kota Surabaya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengetahui dan Memahami sejarah perkembangan perumahan dan permukiman di kota Surabaya.

PEMBAHASAN
Surabaya adalah salah satu kota tertua di Indonesia. Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman colonial. Secara tertulis, bukti yang menyebutkan adanya Surabaya tercantum dalam prasasti Trowulan I, yang berangka tahun 1358 M. di dalam prasasti tersebut dicantumkan nama-nama tempat penyebrangan penting sepanjang sungai Brantas.
Von Faber (953:75-93) membuat hipotesis bahwa Surabaya didirikan pada tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat permukiman baru bagi para prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan di tahun 1270 M. permukiman baru yang diberi nama Surabaya itu terletak di sebelah Barat Kalimas dan Kali Pegirian di sebelah Timur. Sebelah utara dan selatan adalah dua terusan (yang sekarang sudah tidak ada), yang sebelah selatan menjadi Jl. Jagalan sedangkan yang sebelah utara hilang sewaktu dibangun stasiun kereta api Semut.
Pada sekitar tahun 1720-an, VOC masuk kota Surabaya jatuh ketangan VOC. Dalam menduduki kota Surabaya VOC mula-mula membangun loji dan benteng yang terletak di sebelah Utara kota Surabaya lama (kurang lebih sekarang didaerah kompleks kantor Gubernur Jatim di Jl. Pahlawan) dan VOC juga mendirikan permukiman-permukiman untuk prajuritnya. Awal permukiman VOC di Surabaya, yaitu Fort Retranchement. Merupakan tempat permukiman keluarga tentara Belanda yang terletak disebelah Benteng. Oleh penduduk setempat sering disebut sebagai kampung kecil. Lokasinya pun berdekatan yakni, terletak di Kompleks kantor gubernur.
Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah satunya dalam aspek permukiman, adanya permukiman di Surabaya sudah ada sejak masa pra colonial hingga sekarang. Kota Surabaya tumbuh sangat pesat setelah terbentuknya Gemeente Surabaya sebagai hasil Undang-undang Deesentralisasi pada tanggal 1 April 1896. Arsitektur di Surabaya pun berkembang pesat setelah tahun 1900 bersamaan dengan kedatangan para arsitek professional yang berpendidikan akademis dari Belanda. Struktur kota dan Bangunan yang terbentuk setelah tahun 1900-an ini masih terlihat sangat dominant di kota Surabaya sampai sekarang.
Masa penjajahan jepang dapat dikatakan relative singkat (1942-1944), semasa perang dunia ke dua. Selama masa ini tidak ada pembangunan perumahan, perkembangan kota tidak mengalami perubahan sampai Indonesia mencapai kemerdekaan.
Pada masa pasca kemerdekaan tepatnya sampai tahun 1951 pembangunan belum berjalan. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih di liputi oleh peperangan-peperangan kecil antar daerah. Baru pada tahun 1952 (setelah keadaan stabil) walikota Surabaya memprakarsai membangun perumahan rakyat bagi rakyat yang rumahnya hancur akibat perang seperti di daerah Darma Rakyat, Kapas Krampung, Putro Agung, Karang Empat. Kemudian pada tahun 1954 pemerintah membentuk suatu yayasan yang mengelola perumahan bagi pegawai negeri disebut YKP-KMS. Bersamaan dengan ini dibangun pula perumahan untuk anggota militer didaerah Gunung Sari untuk angkatan darat, di Tanjung Perak untuk angkatan laut, di Sidotopo untuk jawatan kereta api dan perumahan bertingkat tiga di daerah Taman Apsari dan Joyoboyo untuk pegawai perkebunan Negara.
Perkembangan pemukiman pada masa ini dipengaruhi karena telah terbukanya hubungan dengan dunia luar sehingga banyak bantuan dari luar negeri untuk program-program perumahan seperti proyek perbaikan kampung di daerah WR Supratman. Sedangkan badan YKP-KMS terus berupaya mengembangkan upayanya untuk membangun perumahan-perumahan.
Tahun 1970-1980 an adalah masa puncak pembangunan di Surabaya, pada tahun 1970 an inilah di Surabaya berkembang perumahan yang dikelola oleh pihak swasta yang dikenal dengan sebutan real estate. Perumahan swasta besar pertama berada di Surabaya Barat yang dikenal dengan kota satelit yaitu Darmo Satelit, dikelola oleh PT. Darmo Satelit Town dengan luas area 400 Ha di desa Dukuh Kupang.
Pada perkembangan selanjutnya yaitu sekitar tahun 2000-an, perkembangan pemukiman di Surabaya dipengaruhi oleh perkembangan penduduk dan aktivitas perekonomian kota Surabaya. Dengan bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan ruang semakin banyak. Hal ini menyebabkan pemukiman berkembang ke arah selatan, timur, dan barat kota Surabaya yang memiliki lahan yang luas sebagai kawasan pemukiman. Selain itu, aktivitas perekonomian yang sangat tinggi di daerah pusat kota menyebabkan penduduk memilih untuk membangun kawasan pemukiman ke arah pinggiran kota. Hal tersebut dapat dilihat pada tahun 2000 ke tahun 2005 yang mana perkembangan kawasan pemukiman mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama ke daerah pinggiran Kota Surabaya.

RELEVANSI DENGAN PERKEMBANGAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI INDONESIA
Perkembangan perumahan dan permukiman merupakan pengaruh dari perkembangan kota. Kota-kota di Indonesia secara umum, Nas (1986) membedakannya menjadi 4 periode, yaitu:
1. Kota Indonesia awal
2. Kota Indische
3. Kota Kolonial
4. Kota Modern (Diktat Perancangan Kota, Ir. Heru Purwadio, MSP)
Pada tahap awal, kota tradisional mempunyai struktur yang jelas dan mencerminkan aturan kosmologi dan pola sosio kultur. Pada masa ini, kota-kota tradisional umumnya dititik beratkan pada perdagangan. Kota Surabaya sendiri, dahulunya juga merupakan pelabuhan perdagangan dan jalur akhir dari sungai Brantas. Sungai Brantas sendiri sebagai jalur transportasi dari wilayah pedalaman yang berakhir di Surabaya. Dalam perkembangannya juga sebagai basis pertahanan bagi Kartanegara.
Di kota Surabaya pada tahap ini, adanya permukiman di sebabkan karena masuknya VOC yang membangun permukiman untuk tentara dan keluarga tentara yaitu Fort Retranchement yang terletak disebelah benteng dan berdekatan dengan kantor Gubernur. Dalam perkembangannya, berkembang pula perdagangan akibat dari strategisnya daerah pinggir kali mas dan nantinya berkembang sebagai pusat perdagangan.
Setelah runtuhnya era VOC, Belanda berangsur-angsur merubah status penguasan maritimnya menjadi penguasan teritorial yang tersistimasi dan terstruktur yang merupakan paduan dari tahap Indonesia awal dengan intervensi kolonial. Pada perkembangannya permukiman disusun berdasarkan UU desentralisasi.
Pada tahap kota modern, kecenderungan kota yang ditengarai oleh Karsten pada periode Kolonial diperkuat oleh perkembangan urbanisasi modern. Di mana pada masa ini telah tebuka hubungan dengan dunia luar. Seiring perkembangannya, banyak pihak swasta yang mengembangkan permukiman seiring dengan perkembangan aktivitas ekonominya.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan pemukiman di Surabaya sejak periode pra kolonial sampai sekarang dipengaruhi oleh kebutuhan akan pertahanan, adanya kegiatan perekonomian seperti perdagangan dan politik, terbukanya serta pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya membutuhkan ruang sebagai tempat tinggal.

Penutup
Pemahaman pada perkembangan atau sejarah kota sangat penting baik dari segi pembangunan yaitu bagaimana kita membangun dan merencanakan, dan kita dapat melihat flashback dari kacamata sejarah tersebut seperti apa kebutuhan kota pada masa itu yang dapat kita pelajari maknanya untuk pembangunan kota Surabaya masa kini. Dari segi pendidikan, kita juga dapat mengetahui seberapa pentingnya sejarah perkembangan ini dan dapat kita pelajari, memahami dan juga kita harus menjaga bangunan-bangunan bersejarah sebagai kekayaan dan warisan dari masa lalu.

Daftar Pustaka

Purwadio, H. (2005). Dalam Diktat Perncangan Kota 1.

Handinoto.1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940.Yogyakarta:ANDI
www.surabaya.go.id